Pages

Recent Post

Slider

Fashion

Wayang Durangpo Episode 116 " Raksasa tak Bernama dari "Harmoni "

  " Ditulis Oleh Sujiwo Tejo  
  Minggu, 06 November 2011
-----------------------------------------------

Ponokawan Petruk baru sekarang nyesel setengah mati. Ia getun kenapa kok ndak dari dulu-dulu menghayati lelakon wayang. Sudah berkali-kali ia ikut ndoro Arjuna, ndoro Bima dan lain-lain. Seperti Pak Menteri Purnomo Yusgiantoro yang ikut berbagai presiden. Awet. Nyeselnya, lha kok kini nggak ada yang nyantol jadi pangeling-eling.Image
    Pasalnya, anak Petruk yang masih taman kanak-kanak baru saja SMS, "Papi, gmn neh gw ditanya bu guru. Raksasa yang suka kamek orng trus dibunuh Bima tuh sapa?"
    "Gak tahu..." Petruk alias Kantongbolong SMS balik setelah sekian jam.
    "Lho, gmn sih, papi sendiri kan wayang. Masa' wayang g tw wayang...Papi jg g tw Pak De Gareng n Om Bagong kali ya?"
    Dari bilik dapur, Dewi Undanawati, isteri Petruk cuma bisa mengintip suaminya menepuk-nepuk kening. Dia tanya sebabnya Petruk tak menjawab. Terus saja kakak Bagong itu menepuk-nepuk batuk sambil geleng-geleng. 
    Isteri Petruk mulai curiga. Ia banting kiyai Hape sang misua itu hingga pyar jadi sewalang-walang. "Kelilip itu pasti mulai berani-berani lagi SMS-an ma suamiku," katanya dalam hati, dalam nafas yang makin memburu.
    Yang dimaksud kelilip siapa lagi kalau bukan seseorang di kampung sebelah, seorang penggemar wayang. Suaminya bekerja di kantor pajak. Sopir-sopir truk sampai Pak Camat bahkan Pak Bupati kabarnya sudah pernah melihat bagaimana gandes kewesnya kalau perempuan 30-an tahun itu pakai kebaya biru. Kabarnya ia menyukai lagu Harmoni-nya Pak SBY.

***
    Yuk, pindah ke tempat dan waktu lain.
    Menurut Bu Nunun, seorang psikiater, Kantongbolong tidak mengidap penyakit lupa seperti yang dulu pernah dideritanya. "Dulu pas kena tuduhan korupsi, aku langsung lupa semuanya. Pak Kantong ini lain," kata Bu Psikiater dalam jas dokter serba putih. "Pak Kantong tidak dituduh korupsi, tapi tahu-tahu lupa masa lalu...xixixixixi...."
    "Jadi? Saya sakit apa, dong, Bu Psiki?" Petruk penasaran.
    "Pak Kantong tidak sakit apa-apa. Cuma, Pak Kantong dulunya sebelum pensiun tidak bekerja dengan jiwa raga..."
    "Maksudnya, Bu Psiki?"
    Bu Nunun lalu menjelentrehkan tiga golongan pekerja. Pertama, orang yang ngasih waktunya ke kantor. Pas jam ngantor ya dia datang ke kantor. Waktunya diberikan ke kantor, tapi tenaganya tidak. Di kantor energinya habis untuk baca koran, ngobrol-ngobrol rerasanan, jualan barang-barang cicilan ke teman-teman kantor dan lain-lain.
    Golongan kedua. Nah ini dia... pekerja yang ke kantornya menghaturkan dua-duanya, waktu dan tenaganya. Tetapi jiwanya tidak. Hmmm...Pekerja jenis begini pas tiba hari Jumat, wuih, senengnya minta ampun, karena besoknya akan libur.
    "Saya termasuk golongan apa, Bu Psiki?"
    "Sorry to say, yang jelas Pak Kantong babar blas ndak termasuk golongan ketiga. Golongan ketiga ini memberikan waktu, tenaga sekaligus jiwanya untuk pekerjaan. Makanya Pak Kantong wes ewes ewes bablas ... lupa semua wis segala suka duka yang Sampeyan alami dulu waktu megawe di kantor Arjuna Travel ..."
    "Kok?"
    "Lho, kok, kok? Kan Arjuna kerjanya nyari wahyu atau apa kek..pokoknya kan jalan-jalan?
    "Hmmm...saya lupa, Bu Psiki. Tapi, ah, masa' saya bukan pekerja golongan ketiga?"
    "Yo wis. Sekarang kalau Pak Kantong tidak percaya, coba jawab pertanyaan aku. Hayo, siapa raksasa pemakan tumbal manusia yang dibunuh oleh Bima?"
    Hening.
    Dokter Nunung tersenyum.
***
    Sepulang dari psikiater Nunung Syaitonung, Petruk berusaha keras mengingat-ingat jawaban untuk pertanyaan sang anak. Adik Gareng ini tak bisa rundingan dengan istrinya untuk pancatan mengingat-ingat. Dewi Undanawati sudah melaksanakan pesan penyanyi Betharia Sonata untuk pulang ke rumah orangtuanya bersama anak.
    Menjelang lingsir wengi, Petruk ingat beberapa hari lalu baru saja ia sowan ke rumah mantan pejabat yang dipenjara karena korupsi. Hari itu akan diadakan penyambutan bebasnya sang pejabat. Ia dapat remisi hukuman. Undangan para warga sudah berdatangan, tahu-tahu acara batal lantaran kebijakan remisi dicabut oleh pamongpraja.
    Bukan kebijakan itu yang penting. Tapi lukisan di ruang tamu. Lukisan dominan merah itu menggambarkan Bima siaga berperang melawan raksasa pemakan tumbal manusia.
    Nah, Petruk njenggirat dari pembaringan. Kini ia eling sebelum pertempuran itu datanglah menghadap Dewi Kunti pasangan suami-istri petani. Kepada Ibu Bima mereka nangis-nangis sambat. Ooo, anaknya yang ontang-anting, alias anak satu-satunya, besok fajar mesti diantarnya ke mulut gua untuk pasugatan sang raksasa.
    Permintaan raksasa tak bisa disanggah. Warga hutan tak ada yang berani melawan raksasa itu. Apalagi, kabarnya aparat keamanan telah disogok oleh raksasa itu senilai 14 juta dolar Amrik, setara dengan bantuan Freeport kepada polisi.
    Petruk ingat, tanpa dijawil oleh Kunti, esoknya pagi-pagi mruput Raden Bima sudah mak pecungul di mulut gua. "Yang bener itu Kanjeng Nabi Ngribahim, yang dikorbankan adalah kesayangannya sendiri. Tapi lihatlah kelakuanmu. Kamu mengorbankan milik orang lain, yang kamu sendiri tidak menyayanginya," geram Bima sebelum bertempur dan berhasil membunuh si raksasa.
    Raksasa itu tergeletak. Tapi, waduh, siapakah namanya? Petruk kembali menepuk-nepuk keningnya, malah sekarang membentur-benturkan kepalanya ke dinding.
***
    Semua hal ada saatnya. Hari ini, selain saat banjir di lain-lain alam, juga saatnya Dewi Undanawati menyadari kekeliruannya soal kiyai Hape dan SMS. Ia, sambil menuntun anak, pulang ke suaminya. Di tengah pematang sawah ia berpapasan perempuan kebaya biru. Tak hanya menyapa, bahkan Dewi Undanawati kini ramah luar biasa.
    "Eh, Tante, dulu kan ada raksasa suka makan manusia, ya? Tumbalnya orang. Namanya?" si anak nyeletuk.
    "Oooo itu gampang, Sayaang...Namanya Dityo Kolo Freeport...Namamu siapa, Nduk?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.